Bagaimana Hukum Seputar Shaff dalam Shalat Berjama’ah
Hadits dari Abu Mas’ud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Hendaklah yang ada di belakangku (shaf pertama bagian tengah belakang imam) adalah kalangan orang dewasa yang berilmu. Kemudian diikuti oleh mereka yang lebih rendah keilmuannya. Kemudian diikuti lagi oleh kalangan yang lebih rendah keilmuannya” [HR. Muslim no. 432].
Hadits ini mengandung faedah bahwa menyusun shaf sesuai dengan urutan keutamaan di belakang imam. Hendaknya di belakang imam adalah orang-orang yang lebih faqih di bidang agama dan lebih bagus hafalan/bacaannya dalam Al-Qur’an dibandingkan yang lain; sebagaimana imam dipilih berdasarkan yang demikian[1]. Hal tersebut mengandung hikmah bahwa bila sewaktu-waktu imam lupa/salah dalam bacaan Al-Qur’an, makmum dapat mengingatkannya. Atau sewaktu-waktu imam ada udzur syar’i(misal batal, sakit, dan lain-lain) sehingga imam tidak bisa meneruskan shalatnya, maka orang yang di belakangnyalah yang akan maju menggantikan dan meneruskan imam sebelumnya memimpin shalat berjama’ah.
Meluruskan dan merapatkan shaff
Hadist An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf-shaf kami (para shahabat) seolah-olah beliau meluruskan ‘qadah’ sehingga beliau yakin bahwa kami telah menyadari kewajiban kami (untuk meluruskan shaf). Suatu hari, ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sudah hendak takbir, tiba-tiba beliau melihat salah seorang diantara kami membusungkan dadanya ke depan melebihi shaf. Maka beliau bersabda : “Hendaknya kalian meluruskan shaf-shaf kalian, kalau tidak Allah akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih” [HR. Muslim no. 436].
Hadits Anas bin Malik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalam:
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf-shaf termasuk menegakkan shalat (berjama’ah)”. Dan dalam lafadh lain : “…karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat (berjama’ah)” [HR. Al-Bukhari no. 690 dan Muslim no. 433].
Hadits An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhuia berkata :
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam pernah menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda : “Tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian. Demi Allah, bila kalian tidak menegakkan shaf kalian, maka Allah akan mencerai-beraikan hati kalian”. An-Nu’man berkata : “Aku saksikan sendiri seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya” [HR. Abu Dawud no. 662 dengan sanad shahih]
Atsar dari Nafi’Maula Ibni ‘Umar bahwasannya ia menceritakan :
”Adalah ’Umar (bin Al-Khaththab) radliyallaahu ’anhu menugaskan seseorang untuk mengatur shaff-shaff. Tidaklah ’Umar mulai bertakbir hingga ia (orang yang ditugaskan tersebut) kembali dan mengkhabarkan bahwasannya shaff-shaff telah lurus” [Diriwayatkan oleh ’Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 2437 dan 2439].
Hadits di atas mengandung faedah diantaranya :
Disunnahkannya meluruskan shaff dalam shalat berjama’ah, bahkan banyak di antara ulama yang mengatakannya wajib. Hendaknya para jama’ah benar-benar memperhatikannya dengan memperhatikan kanan kirinya, mengatur diri, dan saling mengingatkan jama’ah lain, sehingga shaf dapat menjadi benar-benar lurus dari awal sampai akhir shalat.
Termasuk kesempurnaan shaff shalat berjama’ah adalah dengan merapatkannya dengan tidak membiarkan ruang-ruang yang longgar/sela antar jama’ah. Caranya adalah dengan menempelkan bahu dengan bahu dan mata kaki dengan mata kaki antar jama’ah/makmum sebagaimana hadits Nu’man bin Basyir di atas. Jangan ada perasaan risih karena tertempelnya badan saudara kita dengan badan kita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempunyai bahu paling lembut di dalam shalat”[HR. Abu Dawud no. 623; shahih lighairihi].
Maksud hadits ini adalah bahwa salah satu katagori orang yang paling baik adalah orang yang ketika berada di dalam shaff, kemudian ada orang lain yang memegang bahunya untuk menyempurnakan (merapatkan dan meluruskan) shaff, ia akan tunduk dengan hati yang ikhlash lagi lapang tanpa ada pembangkangan [lihat selengkapnya dalam Badzlul-Majhuud 4/338 dan Ma’alimus-Sunan 1/184].
Hendaknya imam memperhatikan keadaan para jama’ahnya dengan selalu mengingatkan agar shaff selalu lurus dan rapat. Menjadi satu “keharusan” bagi seorang imam sebelum memulai shalat untuk mengatur shaff jama’ah. Tidak cukup bagi imam hanya mengatakan [sawwuu shufuufakum dst. “سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ……]. Tapi harus diikuti dengan mengingatkan dan memeriksa keadaan shaf jama’ahnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Imam bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya (yaitu jama’ah/makmum). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Dan seorang imam adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya” [HR. Bukhari no. 853].
Bolehnya seorang imam menugaskan seseorang atau lebih untuk mengatur shaff-shaff shalat agar lurus dan rapat.
Sangat dianjurkan menyambung shaff dan mengisi shaff yang lowong.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu mendoakan orang-orang yang menyambung shaf-shaf dalam shalat. Siapa saja yang mengisi bagian shaff yang lowong, akan diangkat derajatnya oleh Allah satu tingkat” [HR. Ibnu Majah no. 995;shahih lighairihi].
Termasuk hal yang diperbolehkan dalam hal ini adalah seorang makmum maju mengisi shaff yang lowong/kosong yang ada di depannya (yang mungkin disebabkan makmum yang ada di shaff di depannya batal meninggalkan shaff) ketika shalat berjama’ah sedang berlangsung.[4]
Shaff pertama adalah shaff yang paling baik
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Seandainya manusia mengetahui pahala dari adzan dan shalat jama’ah di shaff pertama, dan itu hanya bisa mereka dapatkan dengan berundi, maka pasti mereka berundi” [HR. Al-Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437].
“Sebaik-baik shaff bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Adapun sebaik-baik shaff bagi wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jelek adalah yang paling depan” [HR. Muslim no. 440].[5]
Shaff bagian kanan lebih afdlal daripada shaff sebelah kiri.
Point ini khusus ditujukan bagi makmum secara umum yang bukan termasuk jajaran orang-orang yang lebih berhak menempati posisi di belakang imam (yaitu makmum dari kalangan ’alim dan faqih) sebagaimana dibahas di point 1. Dari Al-Barra’ bin ’Azibradliyallaahu ’anhu ia berkata :
”Kami apabila shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam senang menempati shaff di sebelah kanan. Beliau kemudian menghadap ke arah kami dan bersabda : “Rabbi, peliharalah diriku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan (mengumpulkan) ham-hamba-Mu” [HR. Muslim no. 709, Ibnu Majah no. 1006, dan Ibnu Khuzaimah no. 1563-1565. Ini adalah lafadh Muslim].
Berdirinya makmum sendirian di belakang shaff dapat menyebabkan shalatnya (si makmum tersebut) tidak sah.
Dari Hadits Ali bin Syaiban radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang laki-laki shalat bermakmum di belakang shaf, maka beliau berhenti sampai laki-laki itu selesai shalat. Selanjutnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Ulangi kembali shalatmu. Tidak sah shalat seorang yang yang bermakmum sendirian di belakang shaf” [HR. Ahmad 4/23 no. 16340 dan Ibnu Majah no. 1003; dengan sanad shahih].
Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini. Namun yang rajih, insya allah, adalah pendapat yang mengatakan : “shalat tersebut tidak sah tanpa adanya udzur syar’i”. Maksudnya : Bila shaff di depannya masih longgar atau tidak rapat sehingga masih memungkinkan baginya masuk mengisi di shaff tersebut; namun dia malah memilih berdiri sendirian di belakang shaf tersebut, maka shalatnya tidak sah. Namun bila shaf di depannya telah penuh dan rapat sehingga tidak mungkin dia masuk mengisi di antara shaf-shaf tersebut, maka shalatnya tetap sah. Wallaahu a’lam.
Orang yang bermakmum sendirian berada sejajar satu shaff dengan imam.
Dari ’Abdullah bin ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata :
”Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam; dan ketika itu beliau berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya : “Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?” atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at, kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh” [HR. Al-Bukhari no. 117, Muslim no. 763].
Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’ani berkata : ”Kemudian perkataan Ibnu ‘Abbas : “Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjadikanku (berposisi) di sebelah kanan beliau” jelas menunjukkan bahwa ia (Ibnu ‘Abbas) berdiri sejajar dengan beliau. Dan dalam lafadh yang lain disebutkan (فقمت إلى جنبه) = “Aku berdiri di samping beliau”. Dari sebagian shahabat Asy-Syafi’i menyukai/menganjurkan agar makmum berdiri sedikit di belakang (dari imam). Akan tetapi (hal itu terbantah) bahwasannya Ibnu Juraij telah meriwayatkan/berkata : Kami bertanya kepada ‘Atha’ : Seorang laki-laki shalat (berjama’ah) bersama seorang laki-laki (imam). Dimanakah posisi ia berdiri dari imam tersebut ?”. ‘Atha’ menjawab : “Di sebelahnya”. Aku berkata : “Apakah ia berdiri sejajar dengan imam sehingga berbaris ( = sebaris dengan imam), sehingga tidak ada selisih antara imam dan makmum ?”. ‘Atha’ menjawab lagi : “Ya”. Aku berkata : “Apakah tempatnya tidak jauh sehingga tidak ada selang antara keduanya ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Riwayat serupa (juga terdapat) dalam Al-Muwaththa’ dari ‘Umar dari hadits Ibnu Mas’ud bahwasannya Ibnu Mas’ud satu shaff dengan ‘Umar dan ‘Umar menjadikan dia sejajar dengan ‘Umar di sebelah kanannya. [Subulus-Salaam 2/44].
Menghindari tiang atau sesuatu lain dalam shaff (yang akan memutus kebersambungan shaff).
Dari Mu’awiyyah bin Qurrah dari bapaknya radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
“Kami dilarang untuk berbaris di antara tiang-tiang di jaman Rasulullah dan kami menyingkir darinya” (HR. Ibnu Majah no. 1002, Ibnu Khuzaimah no. 1567, dan Ibnu Hibban no. 2219; dengan sanad shahih).
Dari Abdul Hamid bin Mahmud berkata :
“Aku shalat bersama Anas bin Malik, dan kami terdesak (berbaris) pada tiang-tiang masjid. Sebagian di antara kami ada yang maju dan ada pula yang mundur. Maka Anas berkata : ‘Kami menghindari ini di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” [HR. Abu Dawud no. 673, Ibnu Khuzaimah no. 1568, Ibnu Hibban no. 2218, dan lain-lain; dengan sanad shahih].
Hadits di atas menunjukkan bahwa shaff sebaiknya menghindari jalur yang ada tiangnya, karena hal itu dapat memutuskan shaff. Hal ini dilakukan apabila memungkinkan, yaitu masjidnya luas. Namun apabila sempit, maka tidak mengapa insya Allah.
Marilah kita membiasakan diri dan ‘memakmurkan’ sunnah-sunnah Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam. Sebagai penutup bahasan, apa yang menjadi maksud penulisan risalah singkat ini adalah sebagaimana dikatakan Nabi Hud dalam Al-Qur’an :
“Aku tidak bermaksud (kecuali) mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” [QS. Huud : 88].
Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ al-atsariy – bogor].
[1] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :
”Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang Sunnah. Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam”. Dalam riwayat lain : ”…..yang paling tua usianya”. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya”.
Dan dalam lafadh yang lain : ”Satu kaum diimami oleh orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an di antara mereka dan yang paling berpengalaman membacanya. Kalau bacaan mereka sama…. (sama seperti lafadh sebelumnya). [HR. Muslim no. 673].
[2] Caranya adalah : Imam yang udzur atau batal shalatnya tersebut memegang tangan salah seorang makmum di belakangnya yang menurutnya pantas untuk maju menggantikannya sebagai imam shalat. Dasarnya adalah atsar ‘Amru bin Maimun yang menceritakan :
”Aku ketika itu sedang berdiri, sementara antara aku dengannya (yaitu ’Umar bin Al-Khaththab) hanya ada ’Abdullah bin ’Abbas – pada hari ketika beliau tertikam. Saat itu ’Umar hanya bertakbir dan aku mendengarnya berkata : ”Aku dibunuh atau aku dimakan oleh anjing” ; yaitu ketika beliau tertikam. ’Umar segera memegang tangan ’Abdurrahman bin ’Auf dan mengajukannya sebagai imam. ’Abdurrahman langsung shalat mengimami jama’ah secara ringkas” [HR. Al-Bukhari no. 3497 dengan peringkasan].
Asy-Syaukani menjelaskan : ”Dalam hal itu ada indikasi yang membolehkan seorang imam mengambil pengganti ketika ia berhalangan sehingga tindakan itu harus diambil. Karena para shahabat membenarkan tindakan ’Umar dan tidak ada yang menyalahkannya, sehingga menjadi ijma’. Demikian juga tindakan serupa dilakukan oleh ’Ali dan para shahabat juga membenarkannya” [Nailul-Authaar 2/416].
[3] Kayu untuk anak panah ketika dipahat dan diasah menjadi anak panah.
[4] Dalilnya adalah hadits Sahl bin Sa’d As-Saa’idy radliyallaahu ‘anhu :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah pergi ke Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk mendamaikan mereka. Datanglah waktu shalat, lalu muadzin datang menemui Abu Bakrradliyallaahu ‘anhu dan berkata : “Maukah engkau shalat bersama manusia (dan menjadi imam) ? Akan aku kumandangkan iqamat sekarang”. Abu Bakr menjawab : “Ya”. Maka Abu Bakr pun shalat (dan menjadi imam bagi mereka). Datanglah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika manusia sedang menunaikan shalatnya. Beliau mengendap ke depan hingga masuk ke shaff makmum. Para makmum pun bertepuk tangan memberi isyarat, namun Abu Bakr tidak menoleh sedikitpun dalam shalatnya. Ketika semakin banyak makmum yang bertepuk tangan, Abu Bakr pun akhirnya menoleh dan melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memberikan isyarat kepadanya agar tetap diam di tempatnya (menjadi imam shalat). Abu Bakr mengangkat kedua tangannya, bertahmid kepada Allah ’azza wa jalla atas perintah Rasulullah kepada dirinya tersebut. Namun ia tetap mundur dan masuk ke dalam shaff makmum (yang ada di belakangnya). Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pun maju menjadi imam. Ketika selesai, beliau bersabda : ”Wahai Abu Bakr, apa yang menghalangimu untuk tetap berada di tempatmu sebagaimana aku perintahkan ?”. Abu Bakr menjawab : ”Tidaklah pantas bagi seorang anak Abu Quhafah shalat di depan Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam” [HR. Bukhari no. 652 dan Muslim no. 421].
Hadits di atas menunjukkan bolehnya seorang imam atau makmum untuk maju atau mundur dari shaff karena satu sebab/keperluan dalam shalat.
[5] Shaff paling baik bagi wanita adalah yang paling belakang ini berlaku ketika jama’ah bercampur antara laki-laki dan perempuan. Namun jika jama’ah hanya terdiri dari kaum wanita saja, maka shaff yang paling baik adalah yang terdepan sebagaimana keumuman hadits sebelumnya. Wallaahu a’lam.
[6] Tanbih !! Termasuk kesalahan imam adalah ketika ia memerintahkan makmum untuk menyeimbangkan antara shaff yang sebelah kanan dengan shaff sebelah kiri ketika ia melihat para jama’ah lebih memilih shaff sebelah kanan. Samahatusy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Baaz mengatakan :
”Telah tetap dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang menunjukkan bahwasannya shaff di sebelah kanan itu lebih afdlal (utama) dibandingkan sebelah kiri. Tidaklah disyari’atkan (bagi imam) untuk mengatakan kepada makmum : ”Seimbangkanlah shaff”. Tidaklah mengapa jika makmum yang berada di sebelah kanan shaff itu lebih banyak (dibandingkan sebelah kiri) karena menginginkan keutamaannya. Adapun yang disebutkan oleh sebagian orang tentang hadits : ”Barangsiapa yang mengisi shaff sebelah kiri, maka baginya dua pahala” . Aku tidak mengetahui darimana hadits ini berasal. Bahkan hadits itu adalah hadits palsu, yang dipalsukan oleh sebagian orang-orang yang malas yang tidak bersemangat atau bergegas mengisi shaff sebelah kanan. Hanya Allah sajalah yang menunjukkan jalan yang benar” [Al-Fataawaa 1/61].
[7] Sebagai rujukan untuk muraja’ah, dapat dilihat kitab-kitab sebagai berikut : Al-Mughni (Ibnu Qudamah) 3/49, Nailul-Authar (Asy-Syaukani) 2/429, Asy-Syarhul-Mumti’ (Al-‘Utsaimin), dan yang lainnya.
[8] Hal ini berlaku pada shalat wajib dan shalat sunnah secara umum yang antara makmum dan imam sejenis (laki-laki semua atau wanita semua). Adapun jika imamnya laki-laki dan makmumnya wanita, maka posisinya tetap sebagaimana biasa, yaitu imam di depan dan makmum di belakang.
Kaifiyah ini dikecualikan untuk shalat jenazah berjama’ah. Imam tetap berada di depan makmum, berapapun jumlah makmum. Hal itu didasari oleh hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah disebutkan :
“Bahwasannya Abu Thalhah pernah mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendatangi ‘Umair bin Abi Thalhah pada saat itu ia meninggal dunia. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam datang menshalatkannya di tempat tinggal mereka. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam maju sedang Abu Thalhah di belakang beliau serta Ummu Sulaim di belakang Abu Thalhah. Dan tidak ada orang lain lagi bersama mereka” [HR. Hakim 1/365, Baihaqi 4/30 dan 31. Al-Hakim berkata : “Hadits ini shahih sesuai syarat Asy-Syaikhaan”. Pernyataan ini disepakati oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi perkataan Al-Hakim itu dibantah oleh Syaikh Al-Albani dalam Ahkaamul-Janaaiz yang mengatakan : Hadits itu shahih hanya berdasarkan syarat Muslim saja]
لِيَلِنِيْ مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Hendaklah yang ada di belakangku (shaf pertama bagian tengah belakang imam) adalah kalangan orang dewasa yang berilmu. Kemudian diikuti oleh mereka yang lebih rendah keilmuannya. Kemudian diikuti lagi oleh kalangan yang lebih rendah keilmuannya” [HR. Muslim no. 432].
Hadits ini mengandung faedah bahwa menyusun shaf sesuai dengan urutan keutamaan di belakang imam. Hendaknya di belakang imam adalah orang-orang yang lebih faqih di bidang agama dan lebih bagus hafalan/bacaannya dalam Al-Qur’an dibandingkan yang lain; sebagaimana imam dipilih berdasarkan yang demikian[1]. Hal tersebut mengandung hikmah bahwa bila sewaktu-waktu imam lupa/salah dalam bacaan Al-Qur’an, makmum dapat mengingatkannya. Atau sewaktu-waktu imam ada udzur syar’i(misal batal, sakit, dan lain-lain) sehingga imam tidak bisa meneruskan shalatnya, maka orang yang di belakangnyalah yang akan maju menggantikan dan meneruskan imam sebelumnya memimpin shalat berjama’ah.
Meluruskan dan merapatkan shaff
Hadist An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُسَوِّيْ صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّيْ بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ثُمَّ خَرَجَ يَوْماً فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِياً صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ عِبَادَ اللهِ لَتُسَوُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf-shaf kami (para shahabat) seolah-olah beliau meluruskan ‘qadah’ sehingga beliau yakin bahwa kami telah menyadari kewajiban kami (untuk meluruskan shaf). Suatu hari, ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sudah hendak takbir, tiba-tiba beliau melihat salah seorang diantara kami membusungkan dadanya ke depan melebihi shaf. Maka beliau bersabda : “Hendaknya kalian meluruskan shaf-shaf kalian, kalau tidak Allah akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih” [HR. Muslim no. 436].
Hadits Anas bin Malik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalam:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ. (وَفِيْ لَفْظٍ : فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ)
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf-shaf termasuk menegakkan shalat (berjama’ah)”. Dan dalam lafadh lain : “…karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat (berjama’ah)” [HR. Al-Bukhari no. 690 dan Muslim no. 433].
Hadits An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhuia berkata :
أَقْبَلَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ ثَلاثاً وَاللهِ لَتُقِيْمُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ قَالَ فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam pernah menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda : “Tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian. Demi Allah, bila kalian tidak menegakkan shaf kalian, maka Allah akan mencerai-beraikan hati kalian”. An-Nu’man berkata : “Aku saksikan sendiri seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya” [HR. Abu Dawud no. 662 dengan sanad shahih]
Atsar dari Nafi’Maula Ibni ‘Umar bahwasannya ia menceritakan :
كان عمر يبعث رجلا يقوم الصفوف ثم لا يكبر حتى يأتيه فيخبره أن الصفوف قد اعتدلت
”Adalah ’Umar (bin Al-Khaththab) radliyallaahu ’anhu menugaskan seseorang untuk mengatur shaff-shaff. Tidaklah ’Umar mulai bertakbir hingga ia (orang yang ditugaskan tersebut) kembali dan mengkhabarkan bahwasannya shaff-shaff telah lurus” [Diriwayatkan oleh ’Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 2437 dan 2439].
Hadits di atas mengandung faedah diantaranya :
Disunnahkannya meluruskan shaff dalam shalat berjama’ah, bahkan banyak di antara ulama yang mengatakannya wajib. Hendaknya para jama’ah benar-benar memperhatikannya dengan memperhatikan kanan kirinya, mengatur diri, dan saling mengingatkan jama’ah lain, sehingga shaf dapat menjadi benar-benar lurus dari awal sampai akhir shalat.
Termasuk kesempurnaan shaff shalat berjama’ah adalah dengan merapatkannya dengan tidak membiarkan ruang-ruang yang longgar/sela antar jama’ah. Caranya adalah dengan menempelkan bahu dengan bahu dan mata kaki dengan mata kaki antar jama’ah/makmum sebagaimana hadits Nu’man bin Basyir di atas. Jangan ada perasaan risih karena tertempelnya badan saudara kita dengan badan kita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلاةِ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempunyai bahu paling lembut di dalam shalat”[HR. Abu Dawud no. 623; shahih lighairihi].
Maksud hadits ini adalah bahwa salah satu katagori orang yang paling baik adalah orang yang ketika berada di dalam shaff, kemudian ada orang lain yang memegang bahunya untuk menyempurnakan (merapatkan dan meluruskan) shaff, ia akan tunduk dengan hati yang ikhlash lagi lapang tanpa ada pembangkangan [lihat selengkapnya dalam Badzlul-Majhuud 4/338 dan Ma’alimus-Sunan 1/184].
Hendaknya imam memperhatikan keadaan para jama’ahnya dengan selalu mengingatkan agar shaff selalu lurus dan rapat. Menjadi satu “keharusan” bagi seorang imam sebelum memulai shalat untuk mengatur shaff jama’ah. Tidak cukup bagi imam hanya mengatakan [sawwuu shufuufakum dst. “سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ……]. Tapi harus diikuti dengan mengingatkan dan memeriksa keadaan shaf jama’ahnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Imam bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya (yaitu jama’ah/makmum). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اَلْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Dan seorang imam adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya” [HR. Bukhari no. 853].
Bolehnya seorang imam menugaskan seseorang atau lebih untuk mengatur shaff-shaff shalat agar lurus dan rapat.
Sangat dianjurkan menyambung shaff dan mengisi shaff yang lowong.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ وَمَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu mendoakan orang-orang yang menyambung shaf-shaf dalam shalat. Siapa saja yang mengisi bagian shaff yang lowong, akan diangkat derajatnya oleh Allah satu tingkat” [HR. Ibnu Majah no. 995;shahih lighairihi].
Termasuk hal yang diperbolehkan dalam hal ini adalah seorang makmum maju mengisi shaff yang lowong/kosong yang ada di depannya (yang mungkin disebabkan makmum yang ada di shaff di depannya batal meninggalkan shaff) ketika shalat berjama’ah sedang berlangsung.[4]
Shaff pertama adalah shaff yang paling baik
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا …
“Seandainya manusia mengetahui pahala dari adzan dan shalat jama’ah di shaff pertama, dan itu hanya bisa mereka dapatkan dengan berundi, maka pasti mereka berundi” [HR. Al-Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437].
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaff bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Adapun sebaik-baik shaff bagi wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jelek adalah yang paling depan” [HR. Muslim no. 440].[5]
Shaff bagian kanan lebih afdlal daripada shaff sebelah kiri.
Point ini khusus ditujukan bagi makmum secara umum yang bukan termasuk jajaran orang-orang yang lebih berhak menempati posisi di belakang imam (yaitu makmum dari kalangan ’alim dan faqih) sebagaimana dibahas di point 1. Dari Al-Barra’ bin ’Azibradliyallaahu ’anhu ia berkata :
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أًحْبَبْنَا أَنْ نَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبَلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ رَبِّ قِنِيْ عَذَابكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ
”Kami apabila shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam senang menempati shaff di sebelah kanan. Beliau kemudian menghadap ke arah kami dan bersabda : “Rabbi, peliharalah diriku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan (mengumpulkan) ham-hamba-Mu” [HR. Muslim no. 709, Ibnu Majah no. 1006, dan Ibnu Khuzaimah no. 1563-1565. Ini adalah lafadh Muslim].
Berdirinya makmum sendirian di belakang shaff dapat menyebabkan shalatnya (si makmum tersebut) tidak sah.
Dari Hadits Ali bin Syaiban radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang laki-laki shalat bermakmum di belakang shaf, maka beliau berhenti sampai laki-laki itu selesai shalat. Selanjutnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اسْتَقْبِلْ صَلاتَكَ فَلا صَلاةَ لِرَجُلٍ فَرْدٍ خَلْفَ الصَّفِّ
“Ulangi kembali shalatmu. Tidak sah shalat seorang yang yang bermakmum sendirian di belakang shaf” [HR. Ahmad 4/23 no. 16340 dan Ibnu Majah no. 1003; dengan sanad shahih].
Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini. Namun yang rajih, insya allah, adalah pendapat yang mengatakan : “shalat tersebut tidak sah tanpa adanya udzur syar’i”. Maksudnya : Bila shaff di depannya masih longgar atau tidak rapat sehingga masih memungkinkan baginya masuk mengisi di shaff tersebut; namun dia malah memilih berdiri sendirian di belakang shaf tersebut, maka shalatnya tidak sah. Namun bila shaf di depannya telah penuh dan rapat sehingga tidak mungkin dia masuk mengisi di antara shaf-shaf tersebut, maka shalatnya tetap sah. Wallaahu a’lam.
Orang yang bermakmum sendirian berada sejajar satu shaff dengan imam.
Dari ’Abdullah bin ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata :
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ إلى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ ثُمَّ قَالَ نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةٌُ تُشْبِهُهَا ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِيْنِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيْطَهُ أَوْ خَطِيْطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلى الصَّلاةِ
”Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam; dan ketika itu beliau berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya : “Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?” atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at, kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh” [HR. Al-Bukhari no. 117, Muslim no. 763].
Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’ani berkata : ”Kemudian perkataan Ibnu ‘Abbas : “Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjadikanku (berposisi) di sebelah kanan beliau” jelas menunjukkan bahwa ia (Ibnu ‘Abbas) berdiri sejajar dengan beliau. Dan dalam lafadh yang lain disebutkan (فقمت إلى جنبه) = “Aku berdiri di samping beliau”. Dari sebagian shahabat Asy-Syafi’i menyukai/menganjurkan agar makmum berdiri sedikit di belakang (dari imam). Akan tetapi (hal itu terbantah) bahwasannya Ibnu Juraij telah meriwayatkan/berkata : Kami bertanya kepada ‘Atha’ : Seorang laki-laki shalat (berjama’ah) bersama seorang laki-laki (imam). Dimanakah posisi ia berdiri dari imam tersebut ?”. ‘Atha’ menjawab : “Di sebelahnya”. Aku berkata : “Apakah ia berdiri sejajar dengan imam sehingga berbaris ( = sebaris dengan imam), sehingga tidak ada selisih antara imam dan makmum ?”. ‘Atha’ menjawab lagi : “Ya”. Aku berkata : “Apakah tempatnya tidak jauh sehingga tidak ada selang antara keduanya ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Riwayat serupa (juga terdapat) dalam Al-Muwaththa’ dari ‘Umar dari hadits Ibnu Mas’ud bahwasannya Ibnu Mas’ud satu shaff dengan ‘Umar dan ‘Umar menjadikan dia sejajar dengan ‘Umar di sebelah kanannya. [Subulus-Salaam 2/44].
Menghindari tiang atau sesuatu lain dalam shaff (yang akan memutus kebersambungan shaff).
Dari Mu’awiyyah bin Qurrah dari bapaknya radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِيْ عَلَى عَهْدِ رَسوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْداً
“Kami dilarang untuk berbaris di antara tiang-tiang di jaman Rasulullah dan kami menyingkir darinya” (HR. Ibnu Majah no. 1002, Ibnu Khuzaimah no. 1567, dan Ibnu Hibban no. 2219; dengan sanad shahih).
Dari Abdul Hamid bin Mahmud berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ فَدُفِعْنَا إِلَى السَّوَارِيْ فَتَقَدَّمْنَا وَتَأَخَّرْنَا فَقَالَ أَنَس كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
“Aku shalat bersama Anas bin Malik, dan kami terdesak (berbaris) pada tiang-tiang masjid. Sebagian di antara kami ada yang maju dan ada pula yang mundur. Maka Anas berkata : ‘Kami menghindari ini di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” [HR. Abu Dawud no. 673, Ibnu Khuzaimah no. 1568, Ibnu Hibban no. 2218, dan lain-lain; dengan sanad shahih].
Hadits di atas menunjukkan bahwa shaff sebaiknya menghindari jalur yang ada tiangnya, karena hal itu dapat memutuskan shaff. Hal ini dilakukan apabila memungkinkan, yaitu masjidnya luas. Namun apabila sempit, maka tidak mengapa insya Allah.
Marilah kita membiasakan diri dan ‘memakmurkan’ sunnah-sunnah Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam. Sebagai penutup bahasan, apa yang menjadi maksud penulisan risalah singkat ini adalah sebagaimana dikatakan Nabi Hud dalam Al-Qur’an :
إِنْ أُرِيدُ إِلاّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِيَ إِلاّ بِاللّهِ عَلَيْهِ تَوَكّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud (kecuali) mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” [QS. Huud : 88].
Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ al-atsariy – bogor].
[1] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :
”يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواءً فأقدمهم هجرة، فإن كانوا في الهجرة سواءً فأقدمهم سلماً – وفي رواية – سنّاً ولا يؤمّنَّ الرَّجلُ الرَّجلَ في سلطانه ولا يقعد في بيته على تكْرِمَتِه إلا بإذنه“. وفي لفظ: ”يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله وأقدمهم قراءة، فإن كانت قراءتهم سواءً…“
”Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang Sunnah. Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam”. Dalam riwayat lain : ”…..yang paling tua usianya”. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya”.
Dan dalam lafadh yang lain : ”Satu kaum diimami oleh orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an di antara mereka dan yang paling berpengalaman membacanya. Kalau bacaan mereka sama…. (sama seperti lafadh sebelumnya). [HR. Muslim no. 673].
[2] Caranya adalah : Imam yang udzur atau batal shalatnya tersebut memegang tangan salah seorang makmum di belakangnya yang menurutnya pantas untuk maju menggantikannya sebagai imam shalat. Dasarnya adalah atsar ‘Amru bin Maimun yang menceritakan :
إني لقائم ما بيني بينه (عمر بن الخطاب) إلا عبد الله بن عباس غداة أصيب ،…… فما هو إلا أن كبَّر فسمعته يقول: قتلني أو أكلني الكلب حين طعنه،…. وتناول عمر يد عبد الرحمن بن عوف فقدَّمه،….. فصلى بهم عبد الرحمن صلاة خفيفة
”Aku ketika itu sedang berdiri, sementara antara aku dengannya (yaitu ’Umar bin Al-Khaththab) hanya ada ’Abdullah bin ’Abbas – pada hari ketika beliau tertikam. Saat itu ’Umar hanya bertakbir dan aku mendengarnya berkata : ”Aku dibunuh atau aku dimakan oleh anjing” ; yaitu ketika beliau tertikam. ’Umar segera memegang tangan ’Abdurrahman bin ’Auf dan mengajukannya sebagai imam. ’Abdurrahman langsung shalat mengimami jama’ah secara ringkas” [HR. Al-Bukhari no. 3497 dengan peringkasan].
Asy-Syaukani menjelaskan : ”Dalam hal itu ada indikasi yang membolehkan seorang imam mengambil pengganti ketika ia berhalangan sehingga tindakan itu harus diambil. Karena para shahabat membenarkan tindakan ’Umar dan tidak ada yang menyalahkannya, sehingga menjadi ijma’. Demikian juga tindakan serupa dilakukan oleh ’Ali dan para shahabat juga membenarkannya” [Nailul-Authaar 2/416].
[3] Kayu untuk anak panah ketika dipahat dan diasah menjadi anak panah.
[4] Dalilnya adalah hadits Sahl bin Sa’d As-Saa’idy radliyallaahu ‘anhu :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذهب إلى بني عمرو بن عوف ليصلح بينهم فحانت الصلاة فجاء المؤذن إلى أبي بكر فقال أتصلي بالناس فأقيم قال نعم قال فصلى أبو بكر فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس في الصلاة فتخلص حتى وقف في الصف فصفق الناس وكان أبو بكر لا يلتفت في الصلاة فلما أكثر الناس التصفيق التفت فرأى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأشار إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أن امكث مكانك فرفع أبو بكر يديه فحمد الله عز وجل على ما أمره به رسول الله صلى الله عليه وسلم من ذلك ثم استأخر أبو بكر حتى استوى في الصف وتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فصلى ثم انصرف فقال يا أبا بكر ما منعك أن تثبت إذ أمرتك قال أبو بكر ما كان لابن أبي قحافة أن يصلي بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم مالي رأيتكم أكثرتم التصفيق من نابه شيء في صلاته فليسبح فإنه إذا سبح التفت إليه وإنما التصفيح للنساء
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah pergi ke Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk mendamaikan mereka. Datanglah waktu shalat, lalu muadzin datang menemui Abu Bakrradliyallaahu ‘anhu dan berkata : “Maukah engkau shalat bersama manusia (dan menjadi imam) ? Akan aku kumandangkan iqamat sekarang”. Abu Bakr menjawab : “Ya”. Maka Abu Bakr pun shalat (dan menjadi imam bagi mereka). Datanglah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika manusia sedang menunaikan shalatnya. Beliau mengendap ke depan hingga masuk ke shaff makmum. Para makmum pun bertepuk tangan memberi isyarat, namun Abu Bakr tidak menoleh sedikitpun dalam shalatnya. Ketika semakin banyak makmum yang bertepuk tangan, Abu Bakr pun akhirnya menoleh dan melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memberikan isyarat kepadanya agar tetap diam di tempatnya (menjadi imam shalat). Abu Bakr mengangkat kedua tangannya, bertahmid kepada Allah ’azza wa jalla atas perintah Rasulullah kepada dirinya tersebut. Namun ia tetap mundur dan masuk ke dalam shaff makmum (yang ada di belakangnya). Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pun maju menjadi imam. Ketika selesai, beliau bersabda : ”Wahai Abu Bakr, apa yang menghalangimu untuk tetap berada di tempatmu sebagaimana aku perintahkan ?”. Abu Bakr menjawab : ”Tidaklah pantas bagi seorang anak Abu Quhafah shalat di depan Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam” [HR. Bukhari no. 652 dan Muslim no. 421].
Hadits di atas menunjukkan bolehnya seorang imam atau makmum untuk maju atau mundur dari shaff karena satu sebab/keperluan dalam shalat.
[5] Shaff paling baik bagi wanita adalah yang paling belakang ini berlaku ketika jama’ah bercampur antara laki-laki dan perempuan. Namun jika jama’ah hanya terdiri dari kaum wanita saja, maka shaff yang paling baik adalah yang terdepan sebagaimana keumuman hadits sebelumnya. Wallaahu a’lam.
[6] Tanbih !! Termasuk kesalahan imam adalah ketika ia memerintahkan makmum untuk menyeimbangkan antara shaff yang sebelah kanan dengan shaff sebelah kiri ketika ia melihat para jama’ah lebih memilih shaff sebelah kanan. Samahatusy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Baaz mengatakan :
قد ثبت عن النبي ما يدل على أن يمين كل صفّ ، أفضل من يساره ، ولا يشرع أن يقال للناس : [اعدلوا الصف] ولا حرج أن يكون يمين الصف أكثر ، حرصاً على تحصيل الفضل . أما ما ذكره بعضهم من حديث : ((مَنْ عمر مياسر الصفوف ، فله أجران)) فلا أعلم له أصلاً !! و الأظهر أنه موضوع ، وضعه بعض الكسالى الذين لا يحرصون على يمين الصف ، أو لا يسابقون إليه ، والله الهادي إلى سواء السبيل
”Telah tetap dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang menunjukkan bahwasannya shaff di sebelah kanan itu lebih afdlal (utama) dibandingkan sebelah kiri. Tidaklah disyari’atkan (bagi imam) untuk mengatakan kepada makmum : ”Seimbangkanlah shaff”. Tidaklah mengapa jika makmum yang berada di sebelah kanan shaff itu lebih banyak (dibandingkan sebelah kiri) karena menginginkan keutamaannya. Adapun yang disebutkan oleh sebagian orang tentang hadits : ”Barangsiapa yang mengisi shaff sebelah kiri, maka baginya dua pahala” . Aku tidak mengetahui darimana hadits ini berasal. Bahkan hadits itu adalah hadits palsu, yang dipalsukan oleh sebagian orang-orang yang malas yang tidak bersemangat atau bergegas mengisi shaff sebelah kanan. Hanya Allah sajalah yang menunjukkan jalan yang benar” [Al-Fataawaa 1/61].
[7] Sebagai rujukan untuk muraja’ah, dapat dilihat kitab-kitab sebagai berikut : Al-Mughni (Ibnu Qudamah) 3/49, Nailul-Authar (Asy-Syaukani) 2/429, Asy-Syarhul-Mumti’ (Al-‘Utsaimin), dan yang lainnya.
[8] Hal ini berlaku pada shalat wajib dan shalat sunnah secara umum yang antara makmum dan imam sejenis (laki-laki semua atau wanita semua). Adapun jika imamnya laki-laki dan makmumnya wanita, maka posisinya tetap sebagaimana biasa, yaitu imam di depan dan makmum di belakang.
Kaifiyah ini dikecualikan untuk shalat jenazah berjama’ah. Imam tetap berada di depan makmum, berapapun jumlah makmum. Hal itu didasari oleh hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah disebutkan :
أن أبا طلحة دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عمير بن أبي طلحة حين توفي فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى عليه في منزلهم ، فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وكان أبو طلحة وراءه وأم سليم وراء أبي طلحة ، ولم يكن معهم غيرهم
“Bahwasannya Abu Thalhah pernah mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendatangi ‘Umair bin Abi Thalhah pada saat itu ia meninggal dunia. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam datang menshalatkannya di tempat tinggal mereka. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam maju sedang Abu Thalhah di belakang beliau serta Ummu Sulaim di belakang Abu Thalhah. Dan tidak ada orang lain lagi bersama mereka” [HR. Hakim 1/365, Baihaqi 4/30 dan 31. Al-Hakim berkata : “Hadits ini shahih sesuai syarat Asy-Syaikhaan”. Pernyataan ini disepakati oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi perkataan Al-Hakim itu dibantah oleh Syaikh Al-Albani dalam Ahkaamul-Janaaiz yang mengatakan : Hadits itu shahih hanya berdasarkan syarat Muslim saja]
0 komentar:
Posting Komentar